Google

25 Desember 2009

MATEMATIKA: Apakah Menata atau Merusak Penalaran?

Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh kerisauan penulis yang mencintai matematika. Kerisauan penulis terjadi karena adanya anggapan terhadap matematika dari para siswa yang tidak menyukai matematika. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa matematika itu hanya sebuah pekerjaan di atas kertas. Mereka berkilah bahwa matematika itu tidak ada manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari selain kegunaannya dalam berhitung. Hal ini terjadi karena kebanyakan masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan tidak ada rumusnya dalam matematika.

Penulis tidak menyalahkan anggapan dari para siswa tersebut, tetapi tidak pula membenarkannya. Untuk itu, penulis akan menyodorkan sedikit argumen untuk membahas masalah di atas.

Sebelum melanjutkan diskusi, ada baiknya kita melirik terlebih dulu maksud pemerintah memasukkan pelajaran matematika di sekolah. Sesuai dengan dokumen Standar Isi dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar dengan maksud untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan berpikir seperti yang disebutkan di atas erat kaitannya dengan kemampuan bernalar. Oleh karena itu, jika kita berpedoman pada maksud di atas, tentunya siswa yang mempelajari matematika maka akan memperoleh kemampuan bernalar yang baik.

Menurut penulis, maksud pemerintah ini ada benarnya. Di dalam matematika, urutan dan landasan berpikir sangat ditekankan. Oleh karena urutan diperhatikan, tidak dianjurkan seorang siswa dalam melaksanakan prosedur matematika secara loncat-loncat dan terbolak-balik. Jika dilakukan maka siswa tersebut pasti mengalami kebingungan. Sedangkan penekanan pada pentingnya landasan berpikir, terlihat pada definisi dan teorema dalam matematika. Tidak dibenarkan penggunaan langkah-langkah dalam prosedur matematika tanpa ada definisi atau teorema yang melatarinya.

Adanya urutan dan landasan berpikir ini seharusnya menata nalar siswa. Sebelum membahasnya, penulis mengajak pembaca untuk merenung kembali saat berada di sekolah dasar atau menengah, terutama pada waktu menyelesaikan soal cerita. Bukankan ketika menyelesaikan soal yang berisi sederet kalimat tersebut, kita disuruh untuk terlebih dulu menulis apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan bagaimana menyelesaikannya. Pada saat menuliskan apa yang diketahui, kita mendaftar fakta-fakta penting di dalam pernyataan soal dan data-data yang diperlukan. Ketika menuliskan apa yang ditanyakan, kita mendaftar poin penting yang diinginkan oleh pernyataan untuk dijawab. Dan sewaktu menjawab, kita mencoba bernalar mengenai rumus atau prosedur untuk menyelesaikannya. Rumus atau prosedur tersebut tentu dilandasi oleh hubungan antara poin-poin yang diketahui dan yang ditanyakan. Kemudian langkah-langkah penyelesaiannya pun harus dilandasi hal-hal yang dibenarkan dalam matematika dan urutannya pun dapat dipertanggungjawabkan.

Nah, kembali pada menata nalar. Adanya urutan dan landasan yang benar secara matematis inilah yang berperan menata nalar siswa. Tentunya, dengan mempelajari matematika, maka nalar siswa akan lebih terurut sistematis dan memiliki landasan yang kuat. Namun, mengapa bagi sebagian siswa matematika itu malah merusak nalar siswa? Bahkan ada yang beranggapan mematikan nalar siswa karena sering mengalami kegagalan otak (baca: otak buntu) ketika mengerjakan soal-soal matematika. Atau ada pula yang beropini kalau belajar matematika itu membuat kepala pusing. Kalau sudah pusing, jangankan untuk bernalar, untuk berpikir saja sudah tidak bisa.

Munculnya anggapan ini, menurut penulis dikarenakan adanya tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepada siswa dan diperparah dengan adanya Ujian Nasional yang cenderung hanya menilai kognitif siswa. Tuntutan-tuntutan yang dimaksud penulis adalah siswa harus dapat mengerjakan soal-soal matematika di atas kertas. Untuk mampu melakukannya maka tidak ada jalan lain bagi siswa selain harus mengingat semua prosedur atau rumus yang diajarkan oleh guru matematika.

Adanya tuntutan inilah yang sebenarnya membuat siswa beranggapan matematika lepas dari penataan nalar siswa. Tuntutan ini juga yang menyebabkan siswa menjauhi matematika. Jika tuntutan ini dibebankan kepada siswa yang menyukai, jenius, atau pintar di bidang matematika maka merupakan beban yang ringan. Tapi, bagaimana bagi siswa yang tidak memiliki potensi matematika? Meskipun dia jenius di bidang lain (seperti olahraga, musik, atau bahasa), tuntutan di atas merupakan beban yang berat. Oleh karena itu, seharusnya keberhasilan matematika (apalagi untuk kelulusan) tidak hanya diukur melalui tingginya nilai di atas kertas. Selain itu, seharusnya di dalam matematika tidak hanya diajarkan rumus atau prosedur melainkan juga bernalar. Hal ini mengingat di dalam kehidupan, masalah-masalah yang ditemui oleh siswa tidak memiliki rumus penyelesaian.

(agar lebih jelas, baca artikel yang lain tentang TRIK CEPAT MENYELESAIKAN MATEMATIKA dan ALGORITMA BERBAHAYA BAGI PENALARAN SISWA)

Nah, inilai uraian opini penulis tentang pertanyaan pada judul artikel. Apakah anda memiliki pendapat lain? Tulis pada kolom komentar disertai alasannya. Alasan-alasan tersebut harus masuk akal.

06 Desember 2009

Barisan yang menarik

Apa kabar wahai para pembaca? Aduh, maaf jika saya sudah lama tidak menemui anda. Terakhir hanya dua artikel yang dapat dimasukkan dalam blog ini. Baru dalam bulan november ini saya berkesempatan untuk menulis kembali. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengobati rasa rindu saya kepada para pembaca.
Mohon maaf juga saya sampaikan apabila saya tidak membalas semua komentar dan jawaban soal yang telah diungkapkan oleh pembaca.


Pada tulisan ini, saya mencoba untuk menyajikan suatu barisan yang cukup menarik dalam matematika. Barisan ini ada kaitannya dengan pernyataan kemungkinan ya atau tidak.
Penulis yakin bahwa para pembaca pernah melakukan mengambil keputusan berdasarkan kemungkinan yang muncul, atau paling tidak melihatnya di dunia nyata maupun di televisi. Pengambilan keputusan berdasarkan kemungkinan tersebut yang sederhana, misalnya, adalah mengambil keputusan ya atau tidak. Sering untuk memutuskan itu, seseorang menggunakan jari-jarinya. Misalnya dimulai dari jari kelingking tangan kiri, orang tersebut melafalkan ya, terus ke jari sebelahnya tidak, kemudian ya, dan seterusnya. Pelafalan ya atau tidak berhenti setelah jari-jari yang digunakan habis

(untuk membantu pelafalan, ada orang yang menggunakan jari-jari tangan kiri saja, ada yang kedua tangan. Kalau merasa kurang yakin, ada yang memakai jari-jari kaki juga. Kalau perlu, jari-jari teman sebanyak-banyaknya. Tetapi yang paling ekstrim memanfaatkan banyaknya rambut-rambut, seperti di kaki. Mungkin karena banyaknya rambut tidak dapat ditebak. Setiap waktu berbeda-beda karena ada yang tumbuh dan ada yang rontok.
Tapi ada enggak ya, orang yang menggunakan rambut di kepala?. Saya pikir sih tidak ada, karena mungkin dalam satu hari kita tidak dapat membilang banyaknya rambut satu-persatu. Jika ada yang mencoba, saya yakin pasti air liurnya kering deh. )
Lho, kok ngelantur sih. Ayo kita balik ke tulisan utama.


Setelah habis, pelafalan yang keluar itulah yang dijadikan keputusan. Kalau iya, dikerjakan. Kalau tidak, ditinggalkan.

Jika kita orang yang waras, tentu berpikir: ”Apakah benar keputusan kita”?. Untuk meninjau pertanyaan ini, penulis akan mencoba membawa pembaca untuk memasuki dunia matematika.

Andaikan dimisalkan keputusan ya adalah 1, dan keputusan tidak adalah -1. Kita akan memperoleh barisan
1, -1, 1, -1, 1, -1, 1, -1, ...
(Tanda 3 titik terakhir menunjukkan banyaknya suku barisan tak hingga dan polanya terus berulang.)
Hasil keputusan adalah penjumlahan suku-suku barisan ini. Coba kita jumlahkan suku-sukunya:

1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + ... = (1 + -1) + (1 + -1) + (1 + -1) + ...

= 0 + 0 + 0 + ...
= 0

Menariknya, jika kita sedikit mengubah cara menjumlahkan maka hasil yang kita peroleh berbeda.

1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ... = 1 + (-1 + 1) + (-1 + 1) + (-1 + 1) + ...
= 1 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + ...
= 1

Yang lebih ekstrim lagi adalah sebagai berikut
Misalkan

S = 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ...
<-> S = 1 + (-1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ...)
<-> S = 1 + -(1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + ...)
<-> S = 1 + -S
<-> 2S = 1
<-> S = ½

Lho, ternyata 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ... = ½

Apakah pembaca merasa aneh, atau bingung terhadap banyaknya hasil penjumlahan? Secara matematis, hal ini wajar terjadi. Deret dari barisan yang kita miliki adalah tergolong barisan yang divergen. Karena divergen, kita tidak akan dapat menebak pendekatan (limit) suku deret yang ke-tak hingga. Oleh karena itu wajar jika terjadi berbagai kemungkinan jawaban.

Nah, apakah pembaca dapat menebak maksud saya?
Ada hal filosofis yang dapat ditarik dari fenomena barisan ini, yaitu dari hasil penjumlahan suku-sukunya yang tidak konsisten, dapat 0, 1, atau ½. Filosofisnya adalah kita tidak dapat mempercayai begitu saja keputusan melalui percobaan kemungkinan ya atau tidak. Hasilnya akan diluar dugaan. Kalau kita beruntung, mungkin hasilnya baik bagi nasib kita. Tetapi bagaimana kalau buntung, apakah pembaca mau? Seharusnya pengambilan keputusan berdasarkan logika atau pikiran. Kita harus memperhitungkan kebermanfaatan yang diperoleh dan resiko yang harus ditempuh. Dengan perhitungan seperti ini, hasil yang kita peroleh pun dapat dipertanggung jawabkan.
Jadi, melalui artikel ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk terlebih dulu berpikir dalam mengambil keputusan. Pembaca seyogyanya tidak mempertaruhkan masa depannya hanya pada keputusan ya atau tidak melalui bantuan jari.

20 Mei 2009

SELAMAT DENGAN LOGIKA

Artikel ini bercerita tentang seorang pengembara yang diselamatkan oleh logika kontradiksi. Dengan kemampuan logika yang dimilikinya, ia terhindar dari hukuman kepala suku primitif di pedalaman hutan Indonesia.

Mau tau ceritanya..........?

Seorang pengembara wisata kuliner yang selalu berkunjung ke desa-desa di Indonesia yang terkenal masakannya tersesat di dalam hutan rimba Indonesia yang belum terjamah oleh para petualang. Hal ini terjadi karena dia tanpa sengaja memilih jalan yang salah. entah mengapa dia lebih memilih jalan menuju hutan rimba dibanding jalan beraspal. mungkin jiwa petualangnya yang menyuruhnya demikian.

Setelah lama berusaha menemukan jalan keluar, tanpa sengaja dia menemukan perkampungan penduduk. Namun yang membuat dia heran, rumah-rumah perkampungan ini bukanlah rumah-rumah biasa. Rumah-rumah itu dibuat sekedar untuk berteduh saja seperti pos ronda. Dan yang membuat dia terkejut adalah para penduduk di perkampungan itu. Mereka menggunakan pelindung badan seadanya. Bahannya pun terbuat dari daun-daun pepohonan.

Saat sedang terheran-heran, tiba-tiba sekelompok penduduk menyergap dia dari belakang. Pada awalnya dia berusaha melawan. Namun karena terlalu banyak si pengembara tidak mampu berbuat banyak. Akhirnya dia pasrah digotong oleh para penduduk seperti hewan buruan masuk dalam perkampungan menuju ke tempat kepala perkampungan tersebut.

Setelah tiba di tempat kepala perkampungan, si pengembara diikat pada tiang yang dikelilingi kayu bakar. Si kepala perkampungan sambil berdiri berkata lantang kepada si pengembara (untungnya dia pakai Bahasa indonesia).

"Wahai orang asing, kamu telah kami tangkap. dan sebentar lagi kamu akan dijadikan santapan siang suku kami. Karena itu, sebelum semua itu terjadi, buatlah sebuah pernyataan. Jika pernyataan kamu benar, maka kamu akan dipanggang di atas bara api. namun jika pernyataan kamu salah, maka kamu akan direbus di dalam kuali."

Mendengar ucapan si kepala perkampungan, si pengembara geleng-geleng kepala sambil tersenyum kecut. batinnya berkata kalau kepala kampung ini orang gila. Pernyataan lantang yang diucapkan bernilai akhir sama bagi pengembara. Sama-sama membuat ia menjadi makanan bagi penduduk kampung itu.

Pada saat yang genting tiba-tiba penalaran matematikanya jalan. Secara mendadak muncul ide membuat suatu pernyataan yang menyelamatkan dia. Mau tahu penalaran yang tiba-tiba muncul dalam pikiran dia??? dan apa pernyataan dia?????????

(kalau mau tahu, arahkan turun ke bawah roll mouse nya)
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>
>

Penalaran matematika yang muncul bersifat logika. Si pengembara menganalisis dalam hatinya seperti berikut:

jika pernyataan benar maka akan terjadi P. jika pernyataan salah maka akan terjadi Q.

Berarti supaya selamat, buat pernyataan yang akan terjadi adalah Q.
Jika benar maka seharusnya terjadi Q, padahal kepala kampung menghendaki terjadi P (bertentangan kan).
Jika salah maka tidak akan terjadi Q, padahal kepala kampung menghendaki terjadi Q (bertentangan lagi).

Pertentangan ini akan membuat kepada suku bingung sehingga si pengembara selamat dari kegilaan kepala kampung.

nah, bertolak dari pikiran logika matematika, si pengembara membuat pernyataan:

AKU AKAN DIREBUS DALAM KUALI........

JAWABAN UNTUK PAK INDRA


Alhamdulillaah, akhirnya saya berkesempatan kembali menulis artikel untuk blog ini setelah beberapa lama terbuai oleh perasaan senangnya liburan. Bahkan saking senangnya, rasa malas untuk menulis terus terbawa beberapa bulan setelah masa liburan berakhir.

Sebelumnya saya mohon maaf jika beberapa komentar yang bernada pertanyaan belum dapat saya jawab. Mohon dimaklumi karena ini terjadi atas kehendak saya sendiri. Alasannya antara lain telah disebutkan di atas.


Ketika saya kembali membuka blog ini, saya membaca sebuah pertanyaan yang menarik dari Pak Indra, seorang guru matematika di Surabaya. Pertanyaan ini tertulis di kolom komentar artikel Tidak Pernah ada Operasi 0/0 dalam Limit. Pertanyaan ini sangat menarik sehingga saya merasa jawabannya perlu ditulis dalam bentuk sebuah artikel.

Daripada kita bolak-balik melihat pertanyaan pak Indra yang saya maksud, maka saya menuliskan kembali disini. Pertanyaannya adalah bagaimana menerangkan secara simpel pertanyaan berikut ini:


Jika suatu pekerjaan dikerjakan oleh 30 orang maka pekerjaan tersebut akan selesai dalam 42 hari. jika pekerjaan berlangsung selama 20 hari lalu pekerjaan dihentikan selama 12 hari karena ada suatu hal, dan pimpinan menginginkan pekerjaan akan selesai tepat waktu, maka tambahan pekerja adalah .............


Kalau kita sedikit berpikir, masa sih sulit menerangkan pertanyaan di atas. Cukup gunakan bahasa Indonesia yang baik dan jelas maka siswa akan mengerti maksud dari pertanyaan. Tapi kalau kita pikirkan kembali, apakah pertanyaan pak Indra sederhana seperti itu? Rasanya tidak. Jadi saya berasumsi mungkin yang dimaksud Pak Indra adalah menerangkan penyelesaian dari pertanyaan di atas.

Penyelesaian persamaan di atas dapat menggunakan beragam metode. Namun sangat disayangkan Pak Indra tidak mengungkapkan penyelesaian yang beliau gunakan. Jika beliau mengungkapkan mungkin kita dapat menganalisis bersama bagaimana cara menerangkan yang baik.

Kembali pada metode penyelesaian. Penyelesaian secara ilmiah telah dituliskan oleh mas Agoessss (dapat dilihat pada kolom komentar artikel Tidak Pernah ada Operasi 0/0 dalam Limit).

Sedikit berbeda dengan mas Agoessss, dalam artikel ini saya mencoba mengemukakan penyelesaian yang lebih menekankan pada penalaran. Tapi mudah-mudahan jawabannya sama (doakan ya.....).


Perhatikan kembali pertanyaan di atas.


Untuk menjawabnya kita boleh saja berandai-andai, ya kan? (tiga kata bagi yang melarang: Emang Gue Pikirin.... he...he...) Andaikan pekerjaan itu adalah menyelesaikan kerajinan 42 karya selama 42 hari yang dikerjakan oleh 30 orang.

Berarti 1 hari dapat 1 karya.

Setelah 20 hari bekerja tentunya dihasilkan 20 karya. Berarti tersisa 22 karya lagi.

Karena masalah darurat krisis global, pekerja diliburkan 12 hari setelah itu dilanjutkan kembali.

Berarti hanya tersisa 10 hari untuk menyelesaikan 22 karya.

Dalam 10 hari terakhir, 30 pekerja dapat menyelesaikan hanya 10 karya. Berarti untuk 12 karya lain diperlukan tambahan pekerja.

10 karya perlu tambahan 30 pekerja

2 karya (karena 2/10 = 1/5) perlu tambahan 1/5 dari 30 pekerja, yaitu 6 orang.

Jadi, tambahan pekerja yang diperlukan adalah 36 orang (waaa.....h, mas agoessssss jawaban kita sama).

Metode penyelesaian yang saya ajukan di atas lebih berlandaskan penalaran. Saya bukanlah orang yang pandai matematika seperti mas agoesssssss sehingga saya menghindar dari perhitungan yang rumit.


Bagi pak Indra, semoga metode jawaban saya ini mudah disampaikan dan dijelaskan kepada siswa.


31 Januari 2009

Lebih berat 5 kg besi ketimbang 5 kg kapas

Pagi itu aku melihat siswaku yang bernama Udin sedang duduk sendiri merenung di depan kelas. Mukanya tampak kusut tak keruan, seperti menandakan ada yang mengganjal pikirannya.
Aku bergegas mendatangi Udin. Mungkin aku bisa menghibur supaya dia kembali ceria.
"Assalamu'alaikum Udin".
Udin yang tadi merenung menjadi terkejut mendengar ucapan salam dariku.
"Eh, bapak. Alaikumussalam Pa."
"Udin, dari tadi bapak perhatikan, kamu tidak seperti biasanya. ada masalah ya? ceritakan aja ke Bapak mungkin bapak bisa bantu?" aku bertanya sambil memasang muka serius penuh simpati.
"mmmmmmmmhhhhhhhhh", Udin hanya bergumam mendengar pertanyaanku.
"Ada apa Udin? ko tidak menjawab pertanyaan bapak." aku bertanya lagi.
"Begini pa. Kemarin sore Udin membeli cd film, judulnya bagus Pa. keren. tapi saat diputar di rumah, tidak ada gambarnya. Hanya warna biru dan tampilan waktu saja. Udin merasa rugi Pak." Udin mengeluarkan uneg-uneg di dadanya dengan emosi.
"O.... begitu ya Din. Emangnya apa judul cd nya? aku bertanya sambil mengangguk.
"CD cleaner Pa"
Mendengar judul itu aku langsung tertawa keras sambil memegang perut. "Hua...ha...hua...ha...." tapi saat melihat muka Udin aku langsung menutup mulut. Aku sadar kalau tertawa ku akan menyakiti Udin padahal niatku sebelumnya untuk menghibur. Aku buru-buru minta maaf.
"Maaf ya Din. Tadi bapak tak kuat menahan tawa. Kamu sih ada-ada saja".
"Kok bapak tertawa?" Udin bertanya dengan muka kesal.
"Udin, cd cleaner itu artinya cd pembersih. Jadi cd cleaner itu bukan cd film melainkan untuk membersihkan optik cd player supaya cd player tetap awet. fffff " aku menjelaskan sambil menahan tawa.
Tapi yang namanya Udin tidak mau kalah. Rupanya dia tidak suka aku tertawa dan ingin balas kelakuanku.
"Bapak saya punya teka-teki. Bapak harus jawab ya"
"Teka-teki?" aku bertanya sambil mengkerutkan dahi. aku membatin mungkin dia ingin membalas.
"Baiklah. apa teka-tekinya?"
"Manakah yang lebih berat, 5 kg besi atau 5 kg kapas?"
Mendengar teka-teki itu aku hanya tersenyum. Inikan hanya teka teki biasa yang sudah sering ku dengar. Kemudian aku menjawab dengan alasannya. "Udin, tentunya tidak ada yang lebih berat. 5 kg besi itu sama beratnya dengan 5 kg kapas. Kan sama-sama 5 kg". Aku kembali tersenyum karena merasa menang.
"Bapak salah. 5 kg besi lebih berat!" kemudian Udin loncat kegirangan.
"Lho kok salah?" aku bertanya keheranan.
"Bapak, kalau 5 kg besi dipukulkan ke kepala tentu sakitnya akan lebih berat ketimbang 5 kg kapas. benarkan? makanya Pak. seharusnya tanya dulu semesta pembicaraan kita. Hua....ha....ha...." kini gantian Udin yang tertawa.
"%&)#5kg@#@$%$%" Aku tidak bisa menjawab lagi.
Namun, walaupun Udin tertawa, aku tidak marah. Tujuanku sudah tercapai karena ia sudah kembali tertawa. Kemudian aku ikut tertawa juga.

Negatif x negatif hasilnya positif

"Assalaaaaaamu 'alaikum"
Teriakan salam dari adikku membuyarkan konsentrasiku saat membaca buku matematika. "Alaikumussalam warahmatullah wabarakatuh" aku menjawab.
Setelah adikku melepas sepatunya dan meletakkan di rak sepatu, dia datang menghampiriku.
"Kakak, lagi sibuk ya?"
"Enggak juga. ada apa?"
"Tadi kan Adi belajar matematika di sekolah. Gurunya mengajar tentang perkalian bilangan bulat. Katanya negatif x negatif hasilnya positif. Kok bisa ya?"
Aku tersenyum mendengar penuturan adikku yang bernama Adi.
"Emangnya gurumu tidak menjelaskan mengapa hal itu bisa terjadi?"
"Eeee.....h. Ada sih, tapi Adi belum mengerti. Ajarkan ya Kak? pinta adikku dengan memelas.
"Iya.. tentu saja adikku sayang. Tapi... sebelum itu makan dulu.. Kan cape baru datang dari sekolah. Nanti setelah makan dan istirahat baru kakak ajari. Oke?
"Oke kak!" dia menjawab tawaranku dengan wajah tersenyum dan sambil mengacungkan jempol tangannya.

***

Setelah adikku makan dan beristirahat, dia kembali mendekatiku tuk menagih janji. Di tangannya sudah ada buku dan pensil.
"Kak, Adi sudah makan nih. Ayo kita belaja...r. Tadi kakak kan sudah janji"
Aku tersenyum senang melihat semangat adikku yang mau belajar. Aku tidak mau semangat itu hilang maka aku segera menepati janjiku.
"Iya.. tapi kita di luar saja ya mainnya"
"Lho, kok main sih. Adi kan maunya belajar" adikku memprotes ucapanku.
"He...he.... Main sambil belajar lah. Supaya Adi gak bosan"
"O...." Adikku hanya bergumam sambil mengangguk setelah mendengar penjelasanku....
Setelah itu kami pergi ke halaman rumah.
"Adi, sebelum kita mempelajari negatif x negatif kakak mau bertanya dulu. Adi masih ingat, apa artinya 4 x 2?"
"Masih kak. 4 x 2 itu sama dengan 2 + 2 + 2 + 2 = 8. Benarkan?"
"Waa..h. Adikku memang pintar" pujiku sambil mengacungkan jempol.
"Kalau begitu. Yang mana sebagai pengalinya?"
"Pengali itu yang memperbanyakkan? ya 4 lah." Terang adikku dengan yakin.
"Hebaa...t"
Karena senang mendengar pujianku, tanpa ditanya dia langsung mengungkapkan pengetahuannya.
"Kalau 4 sebagai pengali, maka 2 itu yang dikalikan atau yang diperbanyak. Benar lagi kan?
"He...he.... Bagus. Bagus. Bagus." Dua jempol tangan aku acungkan kepada adikku. Dia makin sumringah.
"Oke. kamu sudah tahu. Nah, sekarang tulisdan ingat aturan ini ya..."
"Pasti kak" jawab adikku sambil bergegas menyiapkan alat tulis dan bukunya.
"Oh iya. ada yang kakak lupa. Kamu sudah tahu positif dan negatif kan?"
"jelas dong kak. Adi kan pintar"
Mendengar itu aku hanya tersenyum.
"Nah, catat ya. Kesepakatan untuk pengali. Positif artinya lakukan sedangkan negatif artinya lakukan lawannya. paham?"
"Paham kak. Kalau pengali positif artinya lakukan dan kalau negatif artinya lakukan lawannya" jawab adikku sambil mengangguk.
"Sekarang untuk yang dikalikan. Positif artinya maju sedangkan negatif artinya mundur. Catat dan ingat baik-baik ya"
"Iya kak."
"Coba kamu baca kembali dan pahami dengan baik aturannya. Kakak beri waktu 5 menit"
Setelah kuberi perintah, mulut adikku langsung komat kamit seperti dukun baca mantera dan sesekali menengadahkan kepala melihat ke atas.

***

Lima menit kemudian aku memberikan pertanyaan pertama.
"4 x 2 berarti lakukan sebanyak 4 kali pekerjaan maju 2 langkah. Praktekkan!"
"Lakukan sebanyak 4 kali pekerjaan maju 2 langkah" adikku mengulang pernyataanku dan kemudian mempraktekkannya.
"Apa hasilnya?" tanyaku
"hasilnya maju sebanyak 8 langkah," jawab adikku.
"positif atau negatif?" tanyaku lanjut.
"karena maju berarti positif" jawab adikku dengan yakin.
"Nah, positif x positif hasilnya juga positif. Sesuaikan dengan yang kamu pelajari"
"Eh, iya kak. betul. tapi kan itu sudah umum. bagaimana kalau melibatkan bilangan negatif?"
"Mmmmhh, coba sekarang 4 x (-2). apa artinya dan bagaimana hasilnya?"
"positif kali negatif ya. artinya lakukan sebanyak 4 kali pekerjaan mundur 2 langkah". setelah memahami adikku langsung mempraktekannya. "Hasilnya mundur 8 langkah. Karena mundur berarti negatif."
"Jadi?" aku menanyakan apa yang dia peroleh.
"Jadi, positif x negatif hasilnya negatif. Iya kak, sesuai lagi dengan yang disekolah." Jawab adikku dengan senyum.
"Paham?" tanyaku kembali untuk memastikan.
"Iya iya. paham" jawab adikku dengan yakin.
"Sekarang, bagaimana dengan (-4) x 2. apa hasilnya?" Aku melanjutkan ke soal berikutnya.
"Tadi kesepakatannya kalau pengali negatif berarti lakukan lawannya. Kalau begitu -4 x 2 adalah lakukan sebanyak 4 kali lawan dari pekerjaan maju 2 langkah. Lawannya maju adalah mundur" Setelah memahami apa yang dilakukan, dia langsung mempraktekkannya. "Hasilnya adalah mundur 8 langkah. Karena mundur berarti negatif."
"Artinya?" aku bertanya hasil dari praktek yang telah dia lakukan.
"Artinya, negatif x positif hasilnya negatif."
"Bagus. adikku ini memang pintar".

"He..he..." adikku tersenyum mendengar pujianku.
"Sekarang, bagaimana kalau negatif x negatif. pertanyaannya -4 x -2."
"-4 x -2 berarti lakukan sebanyak 4 kali lawan dari pekerjaan mundur 2 langkah. Lawan dari mundur adalah maju" setelah memahami artinya adikku melaksanakan prakteknya. "Hasilnya adalah maju 8 langkah. Maju berarti positif. Jadi negatif x negatif ternyata hasilnya positif."
"Bagus.... bagus... Sekarang kamu mengerti kan kalau negatif x negatif itu hasilnya positif."
"Iya. sekarang Adi mengerti kalau negatif x negatif itu hasilnya positif. makasih ya kak. Adi akan selalu mengingat cara ini"
"Sama-sama. Kakak senang punya adik yang selalu mau belajar".

***

26 Januari 2009

TERTAWA SEBENTAR ALA MATEMATIKA (1)

He..... he... he.....
He..... he... he.....
Adu..h, maaf ya. aku bingung nih mau tulis apa... abis pikiranku ikut tertawa...

begini ceritanya............
Saya browsing di internet, dan aku menemukan gambar atau foto lucu matematika. semoga kamu tertawa....

(diambil dari Ad Astra Per Aspera)


(diambil dari Spicebears)


(Diambil dari : Ad Astra Per Aspera)


(diambil dari Ad Astra Per Aspera)

(diambil dari Ad Astra Per Aspera)

SAMA TAPI BEDA

Judulnya aneh ya? He...he...he..... mungkin perasaan saya lagi aneh saja. Seperti cinta kali ya. Mungkin dulu sebelum jatuh cinta terhadap seorang gadis mungkin sebagian dari kita merasa hidup tanpa si doi itu biasa. Namun ketika sudah berpacaran, tiba-tiba sebagian dari kita merasa takut putus cinta karena tidak bisa hidup tanpa si doi.
Aneh kan. Padahal sama saja, tanpa dia. Tapi pasti saya yakin sebagian dari kita berkilah itu beda. Mengapa saya yakin? Karena perihal ini sering saya dengar di sinetron Indonesia bertemakan cinta. Selain itu juga pernah dengar di siaran berita televisi. Yang mengerikan nih, ada saja orang yang bunuh diri hanya karena putus cinta. Hi....... Na’udzubillaahi min dzalika
Nah, inilah yang saya maksud sama tapi beda.
Tulisan kali ini kira-kira bertemakan hal yang sama. Mungkin bagi kita sebagai pencinta matematika menganggap dua hal sama karena memiliki karakteristik yang sama. Namun hal yang sama itu belum tentu berlaku bagi orang lain, terutama siswa. Agar lebih jelasnya maka saya tuangkan saja ya ke dalam bentuk cerita berikut.
***

Selesai berdoa, aku memulai pelajaran. ”Pada hari ini, kita akan melanjutkan belajar TRIGONOMETRI. Sekarang kita akan membahas penerapannya”.
Tiba-tiba kelas bergemuruh. ”Wuih, belajar bahasa planet lagi.” salah seorang siswa yang bernama Udin menyeletuk dan kemudian disambut tawa teman-temannya.
Aku hanya tersenyum dan tidak segera menjawab. ”Baik anak-anak, sebelum kita memulai materi yang menantang ini, kita akan tinjau dulu manfaatnya”. Aku diam sesaat.
”Pernahkah kamu berpikir bagaimana caranya untuk mengukur tinggi tiang bendera di lapangan kita” seraya jari telunjukku menunjuk ke tiang bendera yang terlihat melalui jendela. Anak-anak pun mengikuti arah jariku lalu tak lama setelah itu kembali memandang mukaku.
Suasana hening. Mereka terlihat berpikir. Si Udin tadi cuma garuk-garuk kepala. Aku hanya berharap kalau perilaku itu menunjukkan dia ikut berpikir.
”Sekarang kita ke lapangan. Kita akan mengukur tiang bendera dengan bantuan dua alat ini,” aku pun mengangkat kedua benda yang ku bawa tadi. ”Ini namanya klinometer dan ini meteran. Ayo, silahkan pergi ke lua..”
Belum selesai ku mengucapkan kata keluar, si Udin sudah berlari ke luar kelas lalu diikuti oleh teman-temannya. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah anak terakhir keluar aku pun berjalan mengikuti mereka dengan santai sambil menundukkan kepala. Namun, kesantaian itu seketika berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Ketika ku tegakkan kepala dan melihat ke tiang bendera, aku terkejut bukan kepalang.
”Mati aku”. Segera aku berlari menuju tiang bendera. Disitu sudah ada seorang anak yang telah memanjat seperempat tiang bendera.
Dengan terengah-engah aku menegur si anak, ternyata si Udin
”hhh... o..... kamu ya Din. Kamu ngapain? Turun sini. Bahaya tau”
”Lho, katanya kan mau ukur tinggi. Jadi saya panjat aja ke atas. Pak, sini meterannya. Biar saya bawa ke atas sekalian”
”Masya Allah. Kalau kamu mau ukur seperti itu. Mendingan baut tiang ini kita cabut dan kita rebahkan tiangnya. Ayo turun!!”
”Adu....h, Bapak ini gimana sih. Katanya mau mengukur tinggi. Klo tiangnya kita rebahkan Pa..... yang kita ukur itu jadinya panjang tiang bendera, bukan tingginya.” Si Udin menjawab dengan sekenanya tanpa rasa bersalah
”???!!x#$%#$@” aku tak mampu lagi menjawab pikiran si Udin. Dalam hatiku hanya berkata ”benar juga ya....”
”Sudah. Turun sini. Kan sudah saya sampaikan kalau kita akan mengukurnya dengan bantuan alat ini”
***

Cukup ya ceritanya karena poin pentingnya sudah disampaikan. Poin pentingnya adalah seorang guru yang menganggap dua istilah sama karena baik saat tegak atau pun berebah memiliki panjang yang sama. Namun, terkadang bagi siswa dua istilah itu berbeda. Yah, seperti si Udin itu. Bagi dia, tinggi itu berbeda dengan panjang walaupun besaran panjangnya sama.
Hal ini pernah saya temui saat ajang perlombaan matematika di salah satu propinsi. Ketika itu seorang siswa Sekolah Dasar bertanya sebuah soal tertulis kepada Panitia. Soalnya kira-kira begini......
”Pak Amin memiliki sebuah kebun yang berbentuk trapesium sama kaki. Luas kebun itu adalah 10.000 m persegi. Jika jumlah panjang sisi kebun yang sejajar 25 m maka tingginya adalah..........”
Setelah membaca soal ini si anak berinisiatif bertanya kepada panitia.
“Ka… soal ini aneh.”
“Aneh. Maksudnya aneh?” si panitia balik bertanya karena heran.
”Masa sih kebun punya tinggi.” jawab si anak bernada protes.
Mendengar protes si anak, si panitia hanya bengong lalu mempersilahkan si anak kembali duduk dan kemudian ia berlari menuju ruang panitia untuk bertanya.

*** Lho.... ko aku cerita lagi sih..... (bisa-bisa habis nih perbendaharaan artikel)

Jadi dengan artikel ini saya hanya mengajak kepada para pencinta matematika terutama para guru untuk memperhatikan istilah yang digunakan saat mengajar matematika. Pikirkan dengan baik istilah yang akan digunakan, dan berusahalah agar tetap kontekstual sehingga sesuai dengan bayangan si anak.

Bagaimana? Apakah anda setuju dengan ajakan saya....... atau pernahkah anda mengalami hal serupa? Jika ya, tuliskan dong di kolom komentar. Saya akan dengan senang hati menambah pengalaman anda di artikel ini atau mungkin pada artikel yang baru.

Apakah 0,9999999… merupakan bilangan bulat?

Setelah dari pasar membeli ikan dan sayuran, saya dan 4 teman kos berkumpul di dapur untuk membuat sarapan. Saat bersama di dapur muncul diskusi dan perdebatan tentang berbagai konsep matematika. Salah satunya tentang 0,9999999...

Awalnya salah satu teman melemparkan sebuah pendapat bahwa antara dua bilangan rasional pasti ada sebuah bilangan rasional. Berapapun kedua bilangan itu.

Kemudian salah satu temanku bertanya.....”apakah antara 0,9999999... dan 1 terdapat sebuah bilangan rasional?

Temanku itu jadi terdiam. Tapi bukan diam biasa melainkan berpikir keras.

Aku yang tadinya cuma memotong-motong sayur jadi berhenti karena tertarik pada topik diskusi di atas. Lalu aku bertanya, ”apakah 0,9999999... itu kurang dari 1?” Kemudian aku melanjutkan...........

”secara teoritis, kita dapat mengubah 0,9999999... menjadi 1 melalui cara merasionalkan.”

Aku diam sejenak.....

”misalkan x = 0,9999999... lalu kedua ruas dikalikan 10 sehingga menjadi 10x = 9,9999999. Jika 10xx maka hasilnya adalah 9,9999999...-0,9999999...= 9,0000000...= 9. Artinya 9x = 9 sehingga x = 1. Hasil akhir menunjukkan bahwa 0,9999999... = 1”

Temanku yang lain menimpali, ”kalau begitu 0,9999999... itu bilangan bulat dong?”

Temanku yang melontarkan teori tadi mengatakan ”iya ya, kok bisa?” Kami semua jadi diam lalu tiba-tiba tertawa bersama.

”Ha....ha..., jd pusing nih”

Begitulah ceritanya pembaca. Intuisi ku sendiri sampai sekarang belum bisa menerima kalau 0,9999999... = 1. Tapi secara teoritis dapat dibuktikan kesamaannya.


Betul nggak sih? Bagaimana pembaca, menurut anda apakah 0,9999999... bilangan bulat? Berikan opininya ya...

21 Januari 2009

PENGGUNAAN ISTILAH DALAM RUMUS VOLUME PRISMA YANG DAPAT MEMBINGUNGKAN SISWA


Fenomena siswa tidak memahami materi matematika dengan baik bukan hanya disebabkan sulitnya materi matematika. Terkadang ketidakpahaman itu juga terjadi juga karena istilah-istilah yang digunakan menyimpang dari kehidupan sehari-hari.

Istilah yang menyimpang dari kehidupan sehari-hari misalnya dalam materi Volume Prisma. Dalam buku-buku pelajaran matematika, biasanya dituliskan rumus volume prisma seperti berikut ini:


Volume Prisma = Luas alas x tinggi


Jadi, penggunaan rumus volume prisma untuk menghitung volume prisma segitiga di bawah ini adalah sebagai berikut.


Volume = Luas alas x tinggi = Luas segitiga ABC x AD


Penggunaan rumus untuk perhitungan di atas tidak bermasalah bagi siswa karena sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Segitiga ABC merupakan alas prisma dan AD merupakan tingginya.

Permasalahan akan terjadi jika bangunnya direbahkan.


Untuk menghitung volume prisma di atas, maka yang dijadikan sebagai alas adalah segitiga ABC atau segitiga DEF. Wuih, anehkan! Entah sejak kapan istilah alas digunakan untuk menyatakan sesuatu yang tidak terletak di dasar bangun.

Lebih-lebih lagi untuk tinggi prisma. Untuk menghitung volume prisma, maka yang merupakan tingginya adalah AD atau BE, atau CF. Aneh lagi kan! tinggi ko mendatar.

Kalau kita lihat pada bangun prisma di atas, seharusnya yang dikatakan alas adalah segiempat ACFD. Begitu pula tinggi, seharusnya yang memenuhi adalah AB. Membingungkan bukan! Wajar saja kalau siswa keliru menghitung volume bangun prisma.

Inilah yang saya maksud adanya penyimpangan istilah-istilah matematika dengan kehidupan sehari-hari. Kalau ini dibiarkan maka lama-kelamaan akan membuat siswa merasa matematika tidak sesuai dengan kehidupan sehari-hari. Tentunya ini tidak kita inginkan bukan...........


Nah, setujukan anda dengan saya? Kalau ya, kira-kira istilah apa ya yang tepat untuk digunakan dalam rumus volume prisma? Saya harap para pembaca mau menyumbangkan pemikirannya.

Tantangan: Uji penalaran matematika anda


Tulisan-tulisan di blog ini sebelumnya telah membahas tentang dorongan penggunaan penalaran dalam memecahkan soal. Nah, berikut ini dicantumkan sebuah soal yang dapat diselesaikan dengan penalaran serta tidak melibatkan perhitungan yang rumit. Ingat, cobalah untuk memanfaatkan nalar anda. Hindari langkah-langkah algoritma yang menjemukan.


Berikut ini adalah kombinasi mobil-mobil mainan (mobil lucu dan mobil balap) disertai total harganya:



total harga: Rp. 137.000,00


total harga: Rp. 134.000,00

Berapakah total harga yang harus dibayar jika terdiri dari 4 mobil balap?


Ingat, gunakan penalaran anda. Tidak perlu memakai lambang x, y, atau lainnya. Lepaskan pikiran anda dari algoritma.

Selamat bernalar. Saya tunggu ya jawabannya disertai nalarnya. Saya yakin orang lain akan terkejut melihat penalaran anda.

20 Januari 2009

Level pertanyaan untuk mendorong penalaran siswa


Untuk meningkatkan kemampuan penalaran siswa, seyogyanya guru tidak hanya memberikan pertanyaan-pertanyaan kepada siswa yang bersifat mengingat kembali tentang sesuatu atau prosedur matematika (pertanyaan yang levelnya rendah). Melainkan juga seharusnya melontarkan pertanyaan-pertanyaan yang mendorong siswa untuk berpikir, bernalar dan menjelaskan pengetahuannya (pertanyaan yang levelnya tinggi).

Misal pertanyaan yang levelnya rendah seperti berikut:


“apakah nama dari bangun ruang ini (sambil menunjukkan benda atau gambar bangun ruang)?”.


Pertanyaan di atas hanya menguji kemampuan ingatan siswa. Coba anda bandingkan dengan pertanyaan ini:


”Bagaimanakah kamu menjelaskan bentuk bangun ruang ini kepada temanmu melalui sebuah telpon sehingga temanmu dapat menggambarkannya kembali dengan benar?”.


Pertanyaan di atas akan mendorong siswa untuk menjelaskan pengetahuannya sehingga tidak hanya sekedar menyebutkan nama tetapi juga meningkatkan penalaran ruangnya.

Perhatikan juga pertanyaan berlevel rendah berikut ini:


”Berapakah hasil dari 8 x 3?”


Coba anda bandingkan dengan pertanyaan ini:


”Sebutkan dua bilangan yang jika dikalikan maka hasilnya sama dengan 24?”


Pertanyaan di atas tidak hanya sekedar menguji pengetahuan tentang hasil dari 8 x 3 tetapi akan mendorong siswa berpikir tentang dua bilangan lainnya sehingga penalarannya makin kaya. Atau pertanyaan yang lebih tinggi:


”Seandainya kamu mengetahui perkalian dari 1 x 3 hingga 5 x 3. Kemudian kamu lupa berapa hasil perkalian dari 8 x 3. Bagaimanakah caramu untuk menemukan hasilnya?”


Bagaimana menurut anda pertanyaan di atas?..............................

Bagi guru yang ingin membangun penalaran matematika siswa maka cobalah untuk memberi pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya berlevel rendah tetapi juga berlevel tinggi. Pertanyaan yang berlevel rendah untuk sekedar menguji ingatan siswa sedangkan pertanyaan yang berlevel tinggi untuk mengetahui lebih dalam tentang pengetahuan dan penalarannya.

Apakah anda setuju dengan pernyataan saya?

Mungkin anda memiliki pertanyaan-pertanyaan lain yang levelnya tinggi? Silahkan tuliskan pada komentar anda. Pertanyaan-pertanyaan itu akan memperkaya tulisan ini. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih......

18 Januari 2009

OPEN ENDED (soal alternatif untuk pelajaran matematika)

Saat ini, pentingnya matematika untuk pengembangan proses berpikir dan bernalar tidak diiringi dengan usaha untuk memberikan pemahaman yang baik kepada siswa tentang apa itu matematika. Banyak siswa yang menganggap bahwa matematika itu adalah kumpulan perhitungan angka-angka dan aturan-aturan yang harus dimengerti (Walle, 2006). Adanya anggapan matematika sebagai ilmu yang didominasi oleh perhitungan angka-angka dan aturan-aturan untuk memperoleh hasil yang benar, menyebabkan siswa menganggap bahwa matematika itu adalah mata pelajaran yang kaku (harus sesuai, tidak boleh menyimpang).

Al-Jupri (2007) mengemukakan bahwa pemahaman yang keliru tentang matematika itu kaku dan prosedural terjadi salah satunya disebabkan oleh soal-soal dalam matematika sekolah. Soal-soal itu kebanyakan bersifat tertutup (closed ended). Permasalahan atau soal yang sifatnya tertutup (closed ended) menurut Suherman, dkk (2003), adalah permasalahan yang telah diformulasikan dengan baik dan lengkap sehingga bersifat unik (hanya ada satu solusi). Sejalan dengan pendapat ini, Cooney, dkk (tt) mengemukakan bahwa soal bersifat tertutup karena jawaban yang diinginkan telah ditetapkan sebelumnya dan spesifik. Selain itu, Yee (tanpa tahun) juga mengemukakan bahwa soal tertutup adalah soal yang telah terstruktur dengan lengkap dan memiliki satu jawaban benar serta dikerjakan dengan suatu cara (aturan) yang sudah baku. Berdasarkan pernyataan-pernyataan ini, orientasi dari soal-soal closed ended problem adalah jawaban akhir yang tunggal dan dikerjakan dengan sebuah prosedur yang baku.

Orientasi pada jawaban akhir dan sebuah penyelesaian yang baku membuat siswa menghargai aturan-aturan atau rumus-rumus matematika, namun sebenarnya menjauhkan mereka dari matematika sebagai pengembangan proses berpikir. Soal ”tradisional” seperti ini membuat siswa menghargai belajar aturan tetapi memberi sedikit kesempatan kepada mereka untuk bagaimana berpikir dalam mengerjakan matematika. Akibatnya, Walle (2006) mengemukakan bahwa hanya sedikit anak yang berhasil belajar aturan-aturan dan memperoleh nilai yang baik, tetapi mereka bukanlah pemikir yang baik.

Untuk melibatkan proses berpikir, seharusnya semua soal-soal dalam pelajaran matematika tidak hanya bersifat tertutup melainkan juga bersifat terbuka. Permasalahan ini disebut juga open ended problem (question). Pada soal open ended, jawaban yang benar dapat lebih dari satu dan strategi atau metode penyelesaiannya pun lebih dari satu karena bergantung pada hasil pemikiran dan penalaran siswa. Inilah kelebihan soal open ended dibanding soal closed ended. Pada soal open ended, siswa diperbolehkan untuk mengungkapkan pemikirannya (Cooney, dkk; tt), tidak terlalu berorientasi pada jawaban akhir melainkan diorientasikan pada bagaimana memperoleh jawabannya (Suherman, dkk; 2003), dan melatih siswa untuk menggunakan penalaran dan kreativitas berpikir (Al-Jupri, 2007).


Hua ha ha ............ ha. Bahasanya formal banget. Maaf ya......... habisnya bingung mau mengubah ke bahasa yang lebih santai.......


Ingin tahu lebih banyak tentang apa itu soal open ended. Nih, daftar bacaan /blog yang aku jadikan referensi. Beberapa bacaan yang berasal dari internet aku sertakan dengan link nya.



Walle, John A. 2008. Matematika Sekolah Dasar dan Menengah: Pengembangan Pengajaran. Jilid 1. Edisi Keenam. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Jupri, Al. 2007 Open Ended Problems dalam Matematika. http://mathematicse.wordpress.com/2007/12/25/open-ended-problems-dalam-matematika. Klik disini.........

Suherman, Erman; dkk. 2003. Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Universitas Pendidikan Indonesia: Bandung.

Cooney, Thomas J.; dkk. Tanpa tahun. The Nature of Open-Ended Questions. http://books.heinemann.com/math/nature.cfm. Klik disini.......



Ini bisa didownload (diunduh)


Capraro, Mary Margaret; dkk. Tanpa tahun. What are students thinking as they solve open-ended mathematics problems?. Mau download, klik disini.......

Yee, Foong Pui. Tanpa Tahun. Using Short Open-ended Mathematics Questions to Promote Thinking and Understanding. National Institute of Education, Singapore. Mau download, klik disini.......

Yeo, Joseph B.W. 2007. Mathematical Tasks: Clarification, Classification and Choice of Suitable Tasks for Different Types of Learning and Assessment. National Institute of Education, Nanyang Technological University. Mau download, klik disini ..................