Google

25 Desember 2009

MATEMATIKA: Apakah Menata atau Merusak Penalaran?

Penulisan artikel ini dilatarbelakangi oleh kerisauan penulis yang mencintai matematika. Kerisauan penulis terjadi karena adanya anggapan terhadap matematika dari para siswa yang tidak menyukai matematika. Kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa matematika itu hanya sebuah pekerjaan di atas kertas. Mereka berkilah bahwa matematika itu tidak ada manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari selain kegunaannya dalam berhitung. Hal ini terjadi karena kebanyakan masalah-masalah yang mereka temui dalam kehidupan tidak ada rumusnya dalam matematika.

Penulis tidak menyalahkan anggapan dari para siswa tersebut, tetapi tidak pula membenarkannya. Untuk itu, penulis akan menyodorkan sedikit argumen untuk membahas masalah di atas.

Sebelum melanjutkan diskusi, ada baiknya kita melirik terlebih dulu maksud pemerintah memasukkan pelajaran matematika di sekolah. Sesuai dengan dokumen Standar Isi dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2006, mata pelajaran Matematika diberikan kepada semua peserta didik mulai dari sekolah dasar dengan maksud untuk membekali peserta didik dengan kemampuan berpikir logis, analitis, sistematis, kritis, dan kreatif, serta kemampuan bekerjasama. Kemampuan berpikir seperti yang disebutkan di atas erat kaitannya dengan kemampuan bernalar. Oleh karena itu, jika kita berpedoman pada maksud di atas, tentunya siswa yang mempelajari matematika maka akan memperoleh kemampuan bernalar yang baik.

Menurut penulis, maksud pemerintah ini ada benarnya. Di dalam matematika, urutan dan landasan berpikir sangat ditekankan. Oleh karena urutan diperhatikan, tidak dianjurkan seorang siswa dalam melaksanakan prosedur matematika secara loncat-loncat dan terbolak-balik. Jika dilakukan maka siswa tersebut pasti mengalami kebingungan. Sedangkan penekanan pada pentingnya landasan berpikir, terlihat pada definisi dan teorema dalam matematika. Tidak dibenarkan penggunaan langkah-langkah dalam prosedur matematika tanpa ada definisi atau teorema yang melatarinya.

Adanya urutan dan landasan berpikir ini seharusnya menata nalar siswa. Sebelum membahasnya, penulis mengajak pembaca untuk merenung kembali saat berada di sekolah dasar atau menengah, terutama pada waktu menyelesaikan soal cerita. Bukankan ketika menyelesaikan soal yang berisi sederet kalimat tersebut, kita disuruh untuk terlebih dulu menulis apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, dan bagaimana menyelesaikannya. Pada saat menuliskan apa yang diketahui, kita mendaftar fakta-fakta penting di dalam pernyataan soal dan data-data yang diperlukan. Ketika menuliskan apa yang ditanyakan, kita mendaftar poin penting yang diinginkan oleh pernyataan untuk dijawab. Dan sewaktu menjawab, kita mencoba bernalar mengenai rumus atau prosedur untuk menyelesaikannya. Rumus atau prosedur tersebut tentu dilandasi oleh hubungan antara poin-poin yang diketahui dan yang ditanyakan. Kemudian langkah-langkah penyelesaiannya pun harus dilandasi hal-hal yang dibenarkan dalam matematika dan urutannya pun dapat dipertanggungjawabkan.

Nah, kembali pada menata nalar. Adanya urutan dan landasan yang benar secara matematis inilah yang berperan menata nalar siswa. Tentunya, dengan mempelajari matematika, maka nalar siswa akan lebih terurut sistematis dan memiliki landasan yang kuat. Namun, mengapa bagi sebagian siswa matematika itu malah merusak nalar siswa? Bahkan ada yang beranggapan mematikan nalar siswa karena sering mengalami kegagalan otak (baca: otak buntu) ketika mengerjakan soal-soal matematika. Atau ada pula yang beropini kalau belajar matematika itu membuat kepala pusing. Kalau sudah pusing, jangankan untuk bernalar, untuk berpikir saja sudah tidak bisa.

Munculnya anggapan ini, menurut penulis dikarenakan adanya tuntutan-tuntutan yang dibebankan kepada siswa dan diperparah dengan adanya Ujian Nasional yang cenderung hanya menilai kognitif siswa. Tuntutan-tuntutan yang dimaksud penulis adalah siswa harus dapat mengerjakan soal-soal matematika di atas kertas. Untuk mampu melakukannya maka tidak ada jalan lain bagi siswa selain harus mengingat semua prosedur atau rumus yang diajarkan oleh guru matematika.

Adanya tuntutan inilah yang sebenarnya membuat siswa beranggapan matematika lepas dari penataan nalar siswa. Tuntutan ini juga yang menyebabkan siswa menjauhi matematika. Jika tuntutan ini dibebankan kepada siswa yang menyukai, jenius, atau pintar di bidang matematika maka merupakan beban yang ringan. Tapi, bagaimana bagi siswa yang tidak memiliki potensi matematika? Meskipun dia jenius di bidang lain (seperti olahraga, musik, atau bahasa), tuntutan di atas merupakan beban yang berat. Oleh karena itu, seharusnya keberhasilan matematika (apalagi untuk kelulusan) tidak hanya diukur melalui tingginya nilai di atas kertas. Selain itu, seharusnya di dalam matematika tidak hanya diajarkan rumus atau prosedur melainkan juga bernalar. Hal ini mengingat di dalam kehidupan, masalah-masalah yang ditemui oleh siswa tidak memiliki rumus penyelesaian.

(agar lebih jelas, baca artikel yang lain tentang TRIK CEPAT MENYELESAIKAN MATEMATIKA dan ALGORITMA BERBAHAYA BAGI PENALARAN SISWA)

Nah, inilai uraian opini penulis tentang pertanyaan pada judul artikel. Apakah anda memiliki pendapat lain? Tulis pada kolom komentar disertai alasannya. Alasan-alasan tersebut harus masuk akal.

06 Desember 2009

Barisan yang menarik

Apa kabar wahai para pembaca? Aduh, maaf jika saya sudah lama tidak menemui anda. Terakhir hanya dua artikel yang dapat dimasukkan dalam blog ini. Baru dalam bulan november ini saya berkesempatan untuk menulis kembali. Mudah-mudahan tulisan ini dapat mengobati rasa rindu saya kepada para pembaca.
Mohon maaf juga saya sampaikan apabila saya tidak membalas semua komentar dan jawaban soal yang telah diungkapkan oleh pembaca.


Pada tulisan ini, saya mencoba untuk menyajikan suatu barisan yang cukup menarik dalam matematika. Barisan ini ada kaitannya dengan pernyataan kemungkinan ya atau tidak.
Penulis yakin bahwa para pembaca pernah melakukan mengambil keputusan berdasarkan kemungkinan yang muncul, atau paling tidak melihatnya di dunia nyata maupun di televisi. Pengambilan keputusan berdasarkan kemungkinan tersebut yang sederhana, misalnya, adalah mengambil keputusan ya atau tidak. Sering untuk memutuskan itu, seseorang menggunakan jari-jarinya. Misalnya dimulai dari jari kelingking tangan kiri, orang tersebut melafalkan ya, terus ke jari sebelahnya tidak, kemudian ya, dan seterusnya. Pelafalan ya atau tidak berhenti setelah jari-jari yang digunakan habis

(untuk membantu pelafalan, ada orang yang menggunakan jari-jari tangan kiri saja, ada yang kedua tangan. Kalau merasa kurang yakin, ada yang memakai jari-jari kaki juga. Kalau perlu, jari-jari teman sebanyak-banyaknya. Tetapi yang paling ekstrim memanfaatkan banyaknya rambut-rambut, seperti di kaki. Mungkin karena banyaknya rambut tidak dapat ditebak. Setiap waktu berbeda-beda karena ada yang tumbuh dan ada yang rontok.
Tapi ada enggak ya, orang yang menggunakan rambut di kepala?. Saya pikir sih tidak ada, karena mungkin dalam satu hari kita tidak dapat membilang banyaknya rambut satu-persatu. Jika ada yang mencoba, saya yakin pasti air liurnya kering deh. )
Lho, kok ngelantur sih. Ayo kita balik ke tulisan utama.


Setelah habis, pelafalan yang keluar itulah yang dijadikan keputusan. Kalau iya, dikerjakan. Kalau tidak, ditinggalkan.

Jika kita orang yang waras, tentu berpikir: ”Apakah benar keputusan kita”?. Untuk meninjau pertanyaan ini, penulis akan mencoba membawa pembaca untuk memasuki dunia matematika.

Andaikan dimisalkan keputusan ya adalah 1, dan keputusan tidak adalah -1. Kita akan memperoleh barisan
1, -1, 1, -1, 1, -1, 1, -1, ...
(Tanda 3 titik terakhir menunjukkan banyaknya suku barisan tak hingga dan polanya terus berulang.)
Hasil keputusan adalah penjumlahan suku-suku barisan ini. Coba kita jumlahkan suku-sukunya:

1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + ... = (1 + -1) + (1 + -1) + (1 + -1) + ...

= 0 + 0 + 0 + ...
= 0

Menariknya, jika kita sedikit mengubah cara menjumlahkan maka hasil yang kita peroleh berbeda.

1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ... = 1 + (-1 + 1) + (-1 + 1) + (-1 + 1) + ...
= 1 + 0 + 0 + 0 + 0 + 0 + ...
= 1

Yang lebih ekstrim lagi adalah sebagai berikut
Misalkan

S = 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ...
<-> S = 1 + (-1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ...)
<-> S = 1 + -(1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + ...)
<-> S = 1 + -S
<-> 2S = 1
<-> S = ½

Lho, ternyata 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + -1 + 1 + ... = ½

Apakah pembaca merasa aneh, atau bingung terhadap banyaknya hasil penjumlahan? Secara matematis, hal ini wajar terjadi. Deret dari barisan yang kita miliki adalah tergolong barisan yang divergen. Karena divergen, kita tidak akan dapat menebak pendekatan (limit) suku deret yang ke-tak hingga. Oleh karena itu wajar jika terjadi berbagai kemungkinan jawaban.

Nah, apakah pembaca dapat menebak maksud saya?
Ada hal filosofis yang dapat ditarik dari fenomena barisan ini, yaitu dari hasil penjumlahan suku-sukunya yang tidak konsisten, dapat 0, 1, atau ½. Filosofisnya adalah kita tidak dapat mempercayai begitu saja keputusan melalui percobaan kemungkinan ya atau tidak. Hasilnya akan diluar dugaan. Kalau kita beruntung, mungkin hasilnya baik bagi nasib kita. Tetapi bagaimana kalau buntung, apakah pembaca mau? Seharusnya pengambilan keputusan berdasarkan logika atau pikiran. Kita harus memperhitungkan kebermanfaatan yang diperoleh dan resiko yang harus ditempuh. Dengan perhitungan seperti ini, hasil yang kita peroleh pun dapat dipertanggung jawabkan.
Jadi, melalui artikel ini, penulis ingin mengajak pembaca untuk terlebih dulu berpikir dalam mengambil keputusan. Pembaca seyogyanya tidak mempertaruhkan masa depannya hanya pada keputusan ya atau tidak melalui bantuan jari.