Cerita di bawah ini disadur dari buku Laki-laki Penghitung (Koleksi Petualangan matematika), karya Malba Tahan. Cerita tidak dituliskan secara utuh seperti yang tertulis pada buku tersebut, melainkan disusun ulang dengan bahasa sendiri. Hal ini dilakukan untuk membuat cerita mudah dicerna.
MENDAMAIKAN AHLI WARIS
Kisah ini bermula dari perjalananku mengendarai unta ke kota Baghdad berboncengan dengan seorang laki-laki yang memiliki kemampuan berhitung yang patut diacungi jempol. Laki-laki tersebut bernama Beremiz.
Dalam perjalanan yang memeras keringat ini, ada berbagai peristiwa yang menakjubkan. Peristiwa-peristiwa ini memunculkan kesan bahwa Beremiz adalah ahli matematika yang cakap dalam kemampuan aljabar. Salah satu dari peristiwa tersebut antara lain cerita yang aku hendak tuliskan ini.
Langit yang cerah berwarna biru menemani perjalanan kami di sebuah kota. Mendekati sebuah penginapan tua yang tidak terawat dengan baik, kami melihat tiga orang pria yang sedang berdebat di antara kerumunan orang. Mereka saling berbantahan dan tidak jarang diikuti teriakan dan umpatan yang tidak pantas dialamatkan pada manusia.
Demi memenuhi rasa keingintahuan, kami mendekati kerumunan itu dan mendengarkan perkelahian lidah antara tiga lelaki dewasa tersebut:
”Itu tidak dapat dilakukan!”
”Ya, ini perampokan. Aku tidak setuju!”
”Lantas, apa yang harus kita lakukan untuk memenuhi wasiat orang tua? Pikir dong!”
Tanpa dapat kucegah, temanku Beremiz yang cerdas mendekati ketiga lelaki dan bertanya dengan ramah terhadap mereka:
”Wahai teman-temanku yang seiman. Hentikan pertengkaran yang merupakan jalan masuk setan. Kalau aku boleh tahu, hal apa gerangan yang membuat kalian bertengkar? Tolong ceritakan kepadaku!”
Ketiga orang yang sedang berkelahi tersebut serentak menoleh ke arah Beremiz. Salah satu dari mereka yang kelihatannya paling tua menjawab pertanyaan Beremiz.
”Wahai saudaraku, terima kasih atas peringatan engkau. Sesungguhnya kami ini adalah tiga saudara kandung. Gara-gara harta warisan yang diwasiatkan oleh ayah kami, kami hampir memutuskan tali persaudaraan yang menjalin hati kami. Sekali lagi kami ucapkan terima kasih”
Laki-laki yang lain melanjutkan ucapan saudaranya yang tertua.
”Kami saat ini menghadapi masalah yang pelik akibat wasiat orang tua kami. Di saat meninggal, kami diberi harta warisan sebanyak 35 ekor unta. Ayah kami berwasiat bahwa separuh unta-unta tersebut diberikan kepada Hasim sebagai yang tertua, sepertiga diberikan kepadaku Halim, dan sepersembilannya diberikan kepada Harim sebagai yang termuda. Meskipun wasiat tersebut sudah jelas, kami tidak dapat melaksanakannya. Kami tidak mengetahui bagaimana cara pembagiannya. Tidak mungkin membagi unta-unta tersebut menjadi 2 bagian, apalagi harus menjadi 3 bagian bahkan 9 bagian. Jika salah satu dari kami menyarankan pembagian, pasti dua lainnya tidak sependapat. Oleh karena itu, dari beberapa penyelesaian yang sudah diusulkan, belum ada satupun yang dapat diterima. Apa yang harus kami lakukan? Bagaimana pembagiannya supaya semua dapat menerimanya? Wahai temanku, adakah saranmu bagi kami sehingga dapat membuat kami bersatu kembali?”
Temanku Beremiz tersenyum.
”Persoalan yang sederhana. Aku berjanji akan melontarkan pembagian yang adil. Tapi sebelumnya izinkan aku untuk menambah jumlah unta-unta kalian dengan satu ekor unta yang kami tunggangi ke tempat ini.”
Mendengar pernyataan Beremiz, aku sontak kaget membelalakkan mata. Aku menarik tangan Beremiz ke luar kerumunan dan berkata dengan setengah berbisik:
”kamu gila ya. Ini adalah satu-satunya unta yang kita miliki. Jika unta ini engkau berikan kepada mereka, kita harus mengendarai apa? Perjalanan kita masih sangat jauh. Kita tidak mungkin berjalan kaki.”
Beremiz tersenyum.
”Wahai temanku, tenanglah. Jangan khawatir. Aku tahu apa yang kulakukan. Berikanlah untamu padaku, maka kamu akan menikmati hasilnya. Percayalah.”
Nada bicara Beremiz yang meyakinkan membuat aku pasrah dengan kemauan dia.
Beremiz kembali ke kerumunan dengan membawa unta kesayanganku.
”Kawan-kawanku. Sekarang, jumlah unta-unta kalian bertambah 1 sehingga menjadi 36. Dengan jumlah saat ini, aku akan melakukan pembagian sesuai dengan wasiat ayah kalian.”
Kemudian Beremiz menghadap ke arah si sulung Hasim.
”Wahai Hasim, pada awalnya kamu menerima separuh dari 35 unta, yaitu 17,5 ekor. Sekarang, dengan 36 unta, kamu mendapatkan unta sebanyak 18 ekor. Kamu mendapatkan lebih dari yang seharusnya kamu terima. Aku pikir tidak ada alasan kamu menolak pembagian ini. Apakah kamu menerimanya?”
Hasim dengan wajah senang menjawab ya.
Beremiz memberikan 18 unta kepada Hasim. Setelah itu, Beremiz berdiri menghadap Halim.
”Wahai Halim, pada awalnya kamu menerima sepertiga dari 35 unta, yaitu sekitar 11,67 ekor. Sekarang, dengan 36 unta, kamu mendapatkan sebanyak 12 ekor. Kamu juga mendapatkan lebih dari apa yang seharusnya kamu terima. Sungguh tiada alasan yang perlu kamu ucapkan untuk memungkiri pembagian ini.”
Halim dengan sumringah mengangguk sebagai tanda menyetujui pembagian.
Beremizpun memberikan 12 unta kepada Halim. Kemudian dia berhadapan dengan Harim muda.
”Wahai Harim, berdasarkan wasiat ayahmu, kamu memperoleh sepersembilan dari 35 unta, yaitu 3,89 ekor. Sekarang, dengan 36 unta, kamu menerima 4 unta. Kamupun menerima lebih dari yang seharusnya, ini artinya kamu diuntungkan oleh pembagianku ini. Seharusnya kamu berterima kasih padaku. Nah, adakah alasanmu untuk menolak?”
Harim menggelengkan kepalanya yang menandakan ia tidak menolak dengan pembagian tersebut.
Beremiz dengan tenang menyerahkan 4 unta untuk Harim.
Beremiz berkata:
”Pembagian yang telah aku sampaikan menguntungkan anda bertiga. Anda semua telah memperoleh lebih dari yang seharusnya. Pada hakekatnya anda semua beruntung. Perlu anda ketahui, semua unta yang telah dibagikan berjumlah 18 + 12 + 4 = 34 ekor unta. Ternyata, dari 36 unta terdapat 2 unta ekstra. Seperti yang telah anda semua ketahui, salah satu dari unta tersebut adalah milik temanku. Jelas bagi kita untuk mengembalikan kepada dirinya. Sedangkan satu unta yang lain, sudah sepatutnya diberikan kepada ku. Aku telah memberikan teknik pembagian yang adil sehingga anda semua telah mendapatkan warisan melebihi hak anda. Dan yang paling penting, aku telah mengakhir perselisihan paham di antara kalian.
Hasim menyahut”
”Wahai orang asing. Anda adalah orang yang cerdas. Anda telah mengatasi persoalan rumit yang telah menguras pikiran kami. Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Selain itu, kami pun ikhlas memberikan satu unta tersisa untukmu.”
”Terima kasih wahai teman. Aku Beremiz sungguh senang mendengar ucapanmu”
Beremiz mendatangiku seraya berkata
”Lihat temanku yang terhormat. Aku mengembalikan unta yang aku pinjam. Dan sekarang lihatlah. Aku telah memiliki unta sendiri. aku tidak lagi merepotkanmu untuk membawaku. Aku juga tidak lagi menambah beban untamu”
Aku tersenyum mendengarnya. Di dalam hati aku mengakui akan kehebatan si Beremiz, si lelaki penghitung dari tepi sungai Tigris.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
cerita yang luar biasa, izinkan saya untuk membaginya dalam blog saya sahabat, dg sumber tentunya. ^_^
BalasHapus