Google

26 Januari 2009

SAMA TAPI BEDA

Judulnya aneh ya? He...he...he..... mungkin perasaan saya lagi aneh saja. Seperti cinta kali ya. Mungkin dulu sebelum jatuh cinta terhadap seorang gadis mungkin sebagian dari kita merasa hidup tanpa si doi itu biasa. Namun ketika sudah berpacaran, tiba-tiba sebagian dari kita merasa takut putus cinta karena tidak bisa hidup tanpa si doi.
Aneh kan. Padahal sama saja, tanpa dia. Tapi pasti saya yakin sebagian dari kita berkilah itu beda. Mengapa saya yakin? Karena perihal ini sering saya dengar di sinetron Indonesia bertemakan cinta. Selain itu juga pernah dengar di siaran berita televisi. Yang mengerikan nih, ada saja orang yang bunuh diri hanya karena putus cinta. Hi....... Na’udzubillaahi min dzalika
Nah, inilah yang saya maksud sama tapi beda.
Tulisan kali ini kira-kira bertemakan hal yang sama. Mungkin bagi kita sebagai pencinta matematika menganggap dua hal sama karena memiliki karakteristik yang sama. Namun hal yang sama itu belum tentu berlaku bagi orang lain, terutama siswa. Agar lebih jelasnya maka saya tuangkan saja ya ke dalam bentuk cerita berikut.
***

Selesai berdoa, aku memulai pelajaran. ”Pada hari ini, kita akan melanjutkan belajar TRIGONOMETRI. Sekarang kita akan membahas penerapannya”.
Tiba-tiba kelas bergemuruh. ”Wuih, belajar bahasa planet lagi.” salah seorang siswa yang bernama Udin menyeletuk dan kemudian disambut tawa teman-temannya.
Aku hanya tersenyum dan tidak segera menjawab. ”Baik anak-anak, sebelum kita memulai materi yang menantang ini, kita akan tinjau dulu manfaatnya”. Aku diam sesaat.
”Pernahkah kamu berpikir bagaimana caranya untuk mengukur tinggi tiang bendera di lapangan kita” seraya jari telunjukku menunjuk ke tiang bendera yang terlihat melalui jendela. Anak-anak pun mengikuti arah jariku lalu tak lama setelah itu kembali memandang mukaku.
Suasana hening. Mereka terlihat berpikir. Si Udin tadi cuma garuk-garuk kepala. Aku hanya berharap kalau perilaku itu menunjukkan dia ikut berpikir.
”Sekarang kita ke lapangan. Kita akan mengukur tiang bendera dengan bantuan dua alat ini,” aku pun mengangkat kedua benda yang ku bawa tadi. ”Ini namanya klinometer dan ini meteran. Ayo, silahkan pergi ke lua..”
Belum selesai ku mengucapkan kata keluar, si Udin sudah berlari ke luar kelas lalu diikuti oleh teman-temannya. Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Setelah anak terakhir keluar aku pun berjalan mengikuti mereka dengan santai sambil menundukkan kepala. Namun, kesantaian itu seketika berubah menjadi kekagetan yang luar biasa. Ketika ku tegakkan kepala dan melihat ke tiang bendera, aku terkejut bukan kepalang.
”Mati aku”. Segera aku berlari menuju tiang bendera. Disitu sudah ada seorang anak yang telah memanjat seperempat tiang bendera.
Dengan terengah-engah aku menegur si anak, ternyata si Udin
”hhh... o..... kamu ya Din. Kamu ngapain? Turun sini. Bahaya tau”
”Lho, katanya kan mau ukur tinggi. Jadi saya panjat aja ke atas. Pak, sini meterannya. Biar saya bawa ke atas sekalian”
”Masya Allah. Kalau kamu mau ukur seperti itu. Mendingan baut tiang ini kita cabut dan kita rebahkan tiangnya. Ayo turun!!”
”Adu....h, Bapak ini gimana sih. Katanya mau mengukur tinggi. Klo tiangnya kita rebahkan Pa..... yang kita ukur itu jadinya panjang tiang bendera, bukan tingginya.” Si Udin menjawab dengan sekenanya tanpa rasa bersalah
”???!!x#$%#$@” aku tak mampu lagi menjawab pikiran si Udin. Dalam hatiku hanya berkata ”benar juga ya....”
”Sudah. Turun sini. Kan sudah saya sampaikan kalau kita akan mengukurnya dengan bantuan alat ini”
***

Cukup ya ceritanya karena poin pentingnya sudah disampaikan. Poin pentingnya adalah seorang guru yang menganggap dua istilah sama karena baik saat tegak atau pun berebah memiliki panjang yang sama. Namun, terkadang bagi siswa dua istilah itu berbeda. Yah, seperti si Udin itu. Bagi dia, tinggi itu berbeda dengan panjang walaupun besaran panjangnya sama.
Hal ini pernah saya temui saat ajang perlombaan matematika di salah satu propinsi. Ketika itu seorang siswa Sekolah Dasar bertanya sebuah soal tertulis kepada Panitia. Soalnya kira-kira begini......
”Pak Amin memiliki sebuah kebun yang berbentuk trapesium sama kaki. Luas kebun itu adalah 10.000 m persegi. Jika jumlah panjang sisi kebun yang sejajar 25 m maka tingginya adalah..........”
Setelah membaca soal ini si anak berinisiatif bertanya kepada panitia.
“Ka… soal ini aneh.”
“Aneh. Maksudnya aneh?” si panitia balik bertanya karena heran.
”Masa sih kebun punya tinggi.” jawab si anak bernada protes.
Mendengar protes si anak, si panitia hanya bengong lalu mempersilahkan si anak kembali duduk dan kemudian ia berlari menuju ruang panitia untuk bertanya.

*** Lho.... ko aku cerita lagi sih..... (bisa-bisa habis nih perbendaharaan artikel)

Jadi dengan artikel ini saya hanya mengajak kepada para pencinta matematika terutama para guru untuk memperhatikan istilah yang digunakan saat mengajar matematika. Pikirkan dengan baik istilah yang akan digunakan, dan berusahalah agar tetap kontekstual sehingga sesuai dengan bayangan si anak.

Bagaimana? Apakah anda setuju dengan ajakan saya....... atau pernahkah anda mengalami hal serupa? Jika ya, tuliskan dong di kolom komentar. Saya akan dengan senang hati menambah pengalaman anda di artikel ini atau mungkin pada artikel yang baru.

1 komentar:

  1. pernah dengar joke kaya gini ?

    pers (1) wanita = uang x waktu
    pers (2) waktu = uang
    subtitusi wanita = uang x uang
    wanita = uang ^ 2

    pers (3) uang = akar kejahatan
    uang^2 = (akar kejahatan) ^2
    wanita = (akar kejahatan) ^2
    wanita = kejahatan

    cuma becanda.....

    BalasHapus

TERIMA KASIH ATAS KOMENTAR YANG TELAH ANDA BERIKAN.
Dan lebih berterima kasih lagi jika anda mau mengunjungi iklan yang ada di blog ini, guna kelangsungan hidup penulis